Apakah Kebahagiaan Itu Paradoks Yang Semu?

Ilustrasi Dari Sebuah Paradoks

Dulu saya berpikiran bahwa ketika kelak saya mempunyai uang, maka hidup saya akan lebih bahagia. Sewaktu belum punya kendaraan, saya beranggapan bahwa setelah nanti punya kendaraan sendiri, saya akan lebih happy. Saya juga dulu sering berangan-angan bisa bepergian ke luar kota karena hal itu mungkin akan membuat saya senang dan bangga.

Tapi setelah sekian lama "sendiri" berkelana melewati waktu demi waktu, seolah-olah saya disugesti oleh diri sendiri untuk menjadi sadar oleh rasa bahagia yang semu, dan ternyata rahasia bahagia itu tidak terletak pada diri saya sendiri, melainkan pada kebahagiaan kita bersama (orang-orang disekitar kita, orang-orang yang kita sayangi). Namun, saya tidak mau menyebutnya ini sebagai faktor usia atau kedewasaan, karena menurut saya kedewasaan itu adalah hal yang repetitif, biasa terjadi hari ini atau besok, yang tidak memandang usia atau pendidikan.
Happiness comes from the intersection of what you love, what you’re good at, and what the world needs. We’ve been told time and again to keep finding the first. Our schools helped developed the second. It’s time we put more thought on the third. Putting problems at the center of our decision-making changes everything. It’s not about the self anymore. It’s about what you can do and how you can be a valuable contributor.
Bahagia itu didapat ketika kita memindahkan pusat dari “to the end of yourself” menuju “to the greater good”. Hal ini kemudian menyadarkan saya bahwa semata-mata mengejar keinginan atau passion pribadi, tidak serta merta akan membuat kita bahagia. Pernyataan bahwa “follow your passion and everything will turn out great” adalah sesuatu yang misleading. Lebih parah lagi, hal itu justru membuat kita terlihat sangat egois. Fulfillment comes only when your passion, talent, role, assignment, and the greater good all come together.

Pada dasarnya, di lubuk hati dan pikiran terdalam setiap manusia, pasti ingin membuat perbedaan. Kita ingin memberi kontribusi. Kita ingin memberi pengaruh kepada lingkungan sekitar kita. Kita ingin merubah dunia. Kita ingin memberi impact. We are want to matter. Sayangnya, seperti ditulis pada kutipan di atas, selama ini kita hanya berfokus pada aspek what we love dan what we’re good at—bukan pada what the world needs.

Semakin kita berfokus pada diri kita sendiri, maka kita akan cenderung makin tidak bahagia. Sebaliknya, ketika kita mulai mengabaikan perhatian pada diri sendiri dan mulai melihat dunia yang lebih besar, kita akan jauh lebih bahagia. We become happier if we worry less about what makes us happy.

Jadi, mulai sekarang saya mulai mencoba melihat ke sekeliling. Adakah peluang dimana kita bisa melakukan perubahan positif? A genuine impact? A positive contribution? Adakah tempat dimana kita bisa mengarahkan passion dan talenta kita untuk membuat perbedaan? Mari berhenti mengejar kebahagiaan diri sendiri. Mari mulai memberi kontribusi! Mulai memperhatikan! Mulai Memahami! Untuk kita dan orang-orang yang kita sayang karena bahagia itu seharusnya murni bukan hanya paradoks!

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Apakah Kebahagiaan Itu Paradoks Yang Semu?"

Komentar, kritik dan saran dari anda adalah motivasi untuk berkembangnya blog ini.
Mohon tidak berkomentar dengan kata yang mengandung unsur kekerasan, porno dan sara.
Komentar tidak memerlukan verifikasi kata. Terima kasih.